Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) terkemuka, tengah mempersiapkan serangkaian kebijakan baru yang akan diterapkan pada tahun 2025. Kebijakan-kebijakan ini, yang kabarnya mencakup perubahan kurikulum, peningkatan standar kelulusan, dan penyesuaian sistem administrasi akademik, tentu saja menimbulkan berbagai respons di kalangan mahasiswa, khususnya kami, mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Inggris (PBI). Sebagai calon pendidik bahasa Inggris di era globalisasi, kami merasa perlu mengkaji secara kritis apakah kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar akan membekali kami dengan kompetensi yang relevan, atau justru malah menambah beban administratif yang kontraproduktif.
Kurikulum Berbasis Kompetensi Abad 21 vs. “Kurikulum Padat”
Kabar mengenai perubahan kurikulum yang lebih berfokus pada kompetensi abad 21 (berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif) terdengar menjanjikan. Namun, kami khawatir jika implementasinya hanya sebatas “menjejalkan” lebih banyak materi dan tugas tanpa mempertimbangkan depth (kedalaman) pemahaman. Apakah ada jaminan bahwa perubahan ini akan benar-benar mengintegrasikan teknologi secara bermakna dalam pembelajaran bahasa Inggris, bukan sekadar “tempelan”? Apakah kurikulum baru ini akan memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk mengembangkan soft skills yang esensial bagi guru bahasa Inggris profesional, seperti kepemimpinan, adaptabilitas, dan intercultural competence?
Yang jadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana cara memastikan kurikulum baru ini tidak hanya berorientasi pada content (isi), tetapi juga pada process (proses) pembelajaran yang memberdayakan mahasiswa
Standar Kelulusan yang Lebih Tinggi: Kualitas atau Kuantitas?
Peningkatan standar kelulusan, seperti skor TOEFL atau IELTS minimum, bisa jadi merupakan langkah positif untuk memastikan lulusan PBI UNY memiliki daya saing global. Namun, apakah peningkatan ini akan dibarengi dengan support system yang memadai? Apakah kampus akan menyediakan pelatihan intensif, bimbingan, dan simulasi tes yang berkualitas bagi mahasiswa yang membutuhkan? Atau, apakah standar baru ini hanya akan menjadi “filter” yang menghambat kelulusan tanpa memberikan solusi yang konstruktif.
Sistem Administrasi Akademik yang Efisien (atau Tidak)?
Penyesuaian sistem administrasi akademik yang dijanjikan seringkali bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Namun, pengalaman sering menunjukkan bahwa sistem baru, terutama yang berbasis digital, justru dapat menambah kerumitan jika tidak dirancang dan disosialisasikan dengan baik. Apakah sistem baru ini akan benar-benar memudahkan mahasiswa dalam mengakses informasi, mengurus persyaratan administrasi, dan mendapatkan bimbingan akademik? Atau, apakah kami akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk berurusan dengan glitches (gangguan) dan birokrasi yang berbelit-belit?
Bagaimana cara memastikan bahwa sistem administrasi akademik yang baru benar-benar user-friendly dan mendukung kelancaran proses belajar-mengajar, bukan malah menjadi penghambat?
Kesimpulan
Kebijakan kampus 2025 memiliki potensi besar untuk meningkatkan kualitas lulusan PBI UNY dan mempersiapkan kami menghadapi tantangan global. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika kebijakan-kebijakan tersebut dirancang dan diimplementasikan dengan cermat, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi mahasiswa. Kami berharap pihak kampus dapat membuka ruang dialog yang lebih luas dan transparan dengan mahasiswa, sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan benar-benar relevan, efektif, dan berpihak pada kepentingan bersama. Kami, mahasiswa S2 PBI UNY, siap berkontribusi aktif dalam mewujudkan visi kampus yang unggul dan berdaya saing global. Namun, kami juga menuntut agar suara kami didengar dan aspirasi kami dipertimbangkan.